Wednesday, June 3, 2009

Kasus Prita, Indonesia Lebih Parah dari Negara Otoriter

Rabu, 3 Juni 2009 | 14:36 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Wisnu Dewabrata

JAKARTA, KOMPAS.com — Kasus ibu rumah tangga Prita Mulyasari yang dipidana dengan menggunakan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memosisikan Indonesia menjadi sebuah negara yang jauh lebih buruk dari negara otoriter lain.

Tidak hanya itu, pemerintah dan DPR harus ikut bertanggung jawab lantaran telah menelorkan dan kemudian mengesahkan UU ITE, yang justru mengancam kebebasan menyatakan pendapat warga negara yang sebenarnya dilindungi konstitusi.

Gugatan dan kecaman itu dilontarkan oleh sejumlah kalangan, seperti Agus Sudibyo dari Yayasan Sains Estetika dan Teknologi serta Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Hendrayana saat dihubungi Kompas, Rabu (3/6). "Aturan dalam UU ITE itu sangat aneh. Kalau di negara lain kan yang ingin diatur sebetulnya sebatas terkait kejahatan internet (cyber crime). Lha, kalau di Indonesia ini kan tujuannya malah ingin membatasi kebebasan informasi dan mengkriminalkan warga negaranya sendiri," ujar Agus.

Agus juga mengkritisi, proses pembahasan UU ITE di DPR pun juga terkesan sangat cepat dan tidak memberi banyak kesempatan kepada masyarakat untuk memberi masukan dan kritik. Padahal, lanjutnya, ada kecenderungan kuat pemerintah memang akan selalu berusaha memasukkan aturan-aturan untuk membatasi akses masyarakat terhadap ranah informasi publik.

Walau hanya satu atau dua pasal, ketentuan itu diyakini Agus memang sangat efektif memberangus kebebasan dan keterbukaan informasi publik. Dalam derajat tertentu, UU ITE dalam kasus itu bahkan jauh lebih buruk dari Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN).

Dalam konteks surat pembaca yang memang sudah lazim ada di negara mana saja, seseorang yang mengeluh seharusnya tidak boleh dipersoalkan secara hukum. "Apalagi dalam kejadian ini kan Ibu Prita itu menulis surat elektronik pribadi yang tidak untuk dipublikasikan dan mediumnya lebih terbatas," ujar Agus.

Agus mengaku khawatir UU ITE justru akan dimanfaatkan untuk mengkriminalkan warga negara mana saja yang sebetulnya hanya ingin menyuarakan hak berpendapat mereka. Kriminalisasi dicemaskan bakal semakin sering dilakukan yang justru akan membuat persoalan semakin rumit.

Saat dihubungi terpisah, Hendrayana juga menyayangkan upaya peninjauan kembali yang sebelumnya telah mereka tempuh bersama sejumlah LSM lain kandas di Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan mereka pada Mei. "Kami akan coba cari cara lain agar aturan UU ITE, terutama pasal karet di Pasal 27 itu untuk direvisi. Kami mempertanyakan mengapa ancaman hukumnya justru lebih tinggi dari KUHP, belum lagi tidak ada batasan dan penjelasan yang tegas sehingga siapa saja bisa jadi korban dijerat pasal karet itu," ujar Hendrayana.

Undang Roy Suryo

Sementara itu, ketika dihubungi terpisah, mantan anggota Panitia Khusus dan Panitia Kerja UU ITE, yang juga anggota Komisi I, Dedi Djamaluddin Malik, membantah anggapan aturan perundang-undangan tersebut dibahas dan disahkan secara terburu-buru serta tanpa membuka akses masyarakat untuk menilai dan memberi masukan.

Dalam prosesnya, menurut Dedi, bahkan berlangsung lebih dari setahun serta pihak Panja dan Pansus juga sempat mengundang sejumlah kalangan akademisi, LSM, dan kalangan pakar, salah satunya Roy Suryo.

Saat dibahas dahulu justru media massa yang terkesan tidak tertarik. Mereka lebih senang mengikuti proses pembahasan RUU Kebebasan Informasi Publik yang katanya jauh lebih seksi isunya. "Proses pembahasan RUU ITE bahkan setahun lebih kok. Jadi, tidak benar kalau diburu-buru," ujar Dedi.

Namun, seingat Dedi, aturan UU ITE itu kemungkinan besar masih belum bisa langsung diterapkan karena sesuai ketentuan, UU itu baru bisa diberlakukan paling lambat dua tahun, menunggu pemerintah terlebih dahulu membuat peraturan pemerintah sebagai aturan turunannya. "Kalau mau dan dirasa merugikan, ya dicoba saja digalang agar UU ITE itu direvisi. Angkat saja menjadi wacana publik yang nanti didorong ke arah upaya merevisi itu. Sekarang, walau bagaimanapun kan UU ITE sudah jadi dan telah diberlakukan," ujar Dedi.

Referensi Kompas

Comments :

0 komentar to “Kasus Prita, Indonesia Lebih Parah dari Negara Otoriter”

Post a Comment

Site INFO

News & Media Blogs - BlogCatalog Blog DirectoryGoogle PageRank Checking tool
Blog Directory

LINK EXCHANGE

banner

BLOGROLL

 

Copyright © 2009 by SAMBAS POST