Sunday, May 10, 2009

WOC & CTI; Menggusur Nelayan, Menenggelamkan Keadilan Iklim

Climate Change Impacts to Ocean and The Role of Ocean to Climate Change. Demikian topik yang akan diusung Pertemuan Kelautan Dunia atau World Ocean Conference (WOC), 11-15 Mei 2009, di Manado, Sulawesi Utara, Indonesia. Di sini akan ditandatangani kesepakatan Coral Triangel Initiative (CTI) oleh 6 kepala negara anggota CTI, biasa disebut CT6. Sekitar 120 perwakilan negara akan datang membicarakan bagaimana peran laut dalam masalah perubahan iklim.
Celakanya, pertemuan ini hanya membicarakan solusi di ujung pipa masalah perubahan iklim. Mengabaikan akar masalah sebenarnya perusakan ekosistem laut, pemiskinan nelayan, kedaulatan negara kepulauan dan perubahan iklim sendiri. Oleh karena itu, inisiatif ini tak akan banyak artinya, lebih jauh beresiko menenggelamkan upaya keadilan iklim.

A. Laut Indonesia, Melayani Siapa?

Untuk mengenali bagaimana krisis kelautan dan perikanan, kita bisa memulai dengan peran laut Indonesia. Laut merupakan ruang hidup bangsa, sebagai sumber penghidupan bagi jutaan nelayan, sekali-gus sumber pangan dan asupan protein bagi seluruh rakyat Indonesia. Karenanya, laut telah menjadi bagian identitas bangsa yang melekat, membuat Indonesia berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Sejak zaman pra kemerdekaan, pesisir dan laut Indonesia melayani kebutuhan Negara-negara asing. Dalam waktu sama, laut sebagai ruang hidup dan kelola rakyat makin menjauh, justru menjadi tempat tumbuh suburnya praktek kejahatan perikanan, dan tampungan limbah industri tambang, minyak dan gas perusahaan transnasional.

Laut kita telah menjadi praktik pencurian ikan oleh 10 negara asing dalam 15 tahun terakhir. Mereka adalah Thailand, Filipina, Taiwan, Korea, Panama, Cina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Myanmar. Pencurian ini melenyapkan sekitar 30 – 50 persen total potensi perikanan tangkap nasional tiap tahun.

Ironisnya, tindakan-tindakan pemerintah malah memperburuk krisis tersebut lewat liberalisasi sektor perikanan, yang mengarahkan prioritas produksi perikanan memenuhi pasar dunia, dibanding kebutuhan protein bangsa sendiri. Sekitar 90 persen produksi udang kita memasok kebutuhan asing, 37 persen untuk Amerika Serikat, 27 persen untuk Jepang, 15 persen untuk Eropa.

Kawasan pantai dan pesisir juga makin rentan gelombang tsunami, salinitas dan naiknya muka laut, sejak di-serbu proyek reklamasi pembangunan kawasan industri, perniagaan, dan permukiman mewah. Hal itu berakibat kerusakan dan berkurangnya luasan hutan mangrove. Dari empat proyek reklamasi pantai di Padang Sumatera Barat, Jakarta, Makassar Sulawesi Selatan dan Manado Sulawesi Utara, sudah lebih 5 ribu ha ekosistem mangrove, lamun, maupun terumbu karang terancam. Kini, lebih 10 proyek reklamasi pantai secara masif dilakukan di seluruh Indonesia.

Lantas, apa hasilnya bagi Indonesia? Kerusakan ekosistem pesisir terjadi semakin dahsyat. Konversi hutan mangrove untuk kegiatan industri pertambakan dan reklamasi pantai terus meluas sepanjang 25 tahun terakhir. Dalam 3 tahun belakangan, tersisa kurang dari 1,9 juta hektar.

Sementara pertambakan dimonopoli perusahaana asing. Di Lampung, sekitar 60 persen lahan produktif pertambakan dikuasai satu perusahaan multinasional Charoen Phokpand, yang juga mengusai sekitar 50 persen total ekspor udang nasional. Sejak awal, pembangun-an pertambakan (aquaculture) di Indonesia melibatkan utang ADB dan Bank Dunia. Jika di rata-rata, kontribusi utang luar negeri dari sektor ini mencapai Rp39,5 miliar per tahun, sejak 1983 hingga 2013 mendatang.

Kegiatan-kegiatan ekstraksi di darat juga penyebab krisis laut, salah satunya penambangan logam, batubara dan migas. Tak hanya membawa hasil sedimentasi ke muara, industri tambang juga membuang limbah beracunnya langsung ke laut, sehingga berdampak pada kehidupan nelayan.

Dari dua tambang emas Amerika Serikat saja, Newmont dan PT Freeport membuang 340 ribu ton tailing setiap harinya. Demikian halnya buangan limbah pengeboran dan pengangkutan minyak bumi ilegal. Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta, hampir setiap tahun ditemukan tumpahan minyak mentah (tarball). Hal yang sama terjadi di Teluk Balikpapan Kalimantan Timur dan Indramayu Jawa Barat. Eksplorasi minyak dan gas menggunakan dinamit yang diledakan di kedalaman laut Teluk Balikpapan, berakibat kematian massal ikan dan rusaknya terumbu karang di per-airan tersebut.

Padahal pengerukan bahan tambang itu sebagian besar untuk memasok kebutuhan asing. Ekspor batubara Indonesia misalnya, ditujukan ke negara Asia seperti Jepang, China, Taiwan, India, Korea Selatan, Hongkong, Malaysia, Thailand dan Filipina. Negara tujuan ekspor lainnya adalah Eropa seperti Belanda, Jerman dan Inggris, serta negara-negara di Amerika. Importir terbesar batubara Indonesia, Jepang, dan Taiwan.

Secara utuh, situasi di atas akan memperparah krisis pangan nasio-nal. Jika tidak dihentikan, sebelum 2015, Indonesia akan krisis ikan. Gejala krisis telah dirasakan dari hilangnya sejumlah jenis ikan konsumsi
lokal di pasar-pasar tradisional, menurunnya tangkapan nelayan serta tingginya konflik perikanan, dipicu perebutan sumberdaya per-ikanan yang makin terbatas. Bahkan bergantung pasokan ikan negara lain, yang jumlahnya terus membengkak tiap tahun, dengan rata-rata pertumbuhan berkisar 23,34 persen per tahun. Dan, meningkat hingga di atas 30 persen.

Data Pusat Karantina menunjukkan impor udang 2007 hingga pertengahan tahun lalu mencapai 1,17 juta kg. Angka impor udang tersebut meningkat dari 896 ton pada 2006. Akibatnya, harga udang di pasaran nasional maupun lokal mengalami penurunan, hingga 20 persen.

Masalah di atas ditambah maraknya bencana di laut. Kini, sekitar 147 juta masyarakat pesisir, termasuk 20 juta nelayan di dalamnya hidup akrab dengan bencana keseharian. Jutaan nelayan tergusur dari tempat hidupnya akibat perluasan kegiatan reklamasi dan industri, pencemaran laut, hingga proyek-proyek konservasi yang terbukti anti rakyat. Laut juga makin tak ramah, dalam 5 bulan terakhir, sedikitnya 43 orang meninggal dunia dan 386 orang dinyatakan hilang akibat gelombang laut yang kian sulit diperhitungkan.

Krisis-krisis laut diatas diabaikan dalam perhelatan WOC (World Ocean Conference) maupun Coral Triangle Initiative (CTI).

Referensi Walhi

Comments :

0 komentar to “WOC & CTI; Menggusur Nelayan, Menenggelamkan Keadilan Iklim”

Post a Comment

Site INFO

News & Media Blogs - BlogCatalog Blog DirectoryGoogle PageRank Checking tool
Blog Directory

LINK EXCHANGE

banner

BLOGROLL

 

Copyright © 2009 by SAMBAS POST